Seandainya Facebook itu Al-Quran

Seandainya Facebook itu Al-Quran

Bercita-cita menjadi penghapal Al-
qur’an 30 juz, keren!
Lama sekali Qorin belum turun-turun
dari kamarnya. Padahal tadi sudah
janji mau berangkat ke mesjid.
Karena jengkel terpaksa aku naik ke
lantai dua Asrama.
“Oriiiiin,,, ayo berangkat!” Aku
mengetuk pintu kamar temanku.
“Ya,,, siap!” Dia menyahut dari dalam.
Pas aku buka, ternyata gadis
berambut kriting panjang itu lagi
nongrong depan laptop buka
facebooknya. Pantas saja dia betah
di kamar punya teman solid baru
ternyata.
“Orin, mau ngaji enggak?” aku
mengajaknya kembali.
“Riz, duluan aja deh, aku tanggung
nih, ketemu teman lama dia lagi
online sekarang.” Rona wajahnya
senyum merekah seperti menemukan
keajaiban.

Aku kecewa banget, padahal sudah
menunggu dari tadi. Tapi ya sudah
tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Temanku terkenal punya pendirian
kukuh jadi tak mungkin bisa di rubah
maunya. Aku pun segera meluncur
ke mesjid. Ada jadwal hapalan
Qur’an sekarang.
Aku tunggu-tunggu Qorin, sampai
selesai pengajian. Tak muncul-
muncul juga batang hidungnya.
Sekarang Qori sudah jarang ikut
pengajian. Makanya aku sering
sengaja mengajaknya. Temanku yang
punya kesibukan pribadi tak bisa
terganggu.
Namanya Roxi sang idola sewaktu
dia SMA. Meskipun jarang bertemu
sejak dua tahun lalu. Tapi mungkin
perasaannya belum berubah. Setelah
chating beberapa lama. Qorin jadi
tahu. Ternyata sang pujaan tempat
kuliahnya sama di Jakarta . Semakin
senang makannya tak mau beranjak.
Qorin mencintai teman satu angkatan
SMA-nya diam-diam. Tapi usianya
belum 17 tahun kata orang tuanya
tidak boleh pacaran. Namun lulus
SMA malah tidak pernah bertemu
dengan Roxi.

Hampir setiap detik dia tengok
facebooknya, di masjid, di kamar
mandi, di sekolah, di kamar tidur
apalagi. Ponsel, laptop-nya nempel
kaya prangko. Aku kadang jengkel
dengan tingkahnya Orin. Sesekali
berharap bisa ngerjain dia. Tapi dia
sahabatku satu-satunya. Bukannya
malah ngerjain sepantasnya harus
mengingatkan.
Suasana perkuliahan panas, mentari
sudah lurus di puncak ubun-ubun,
“Hari ini tes lisan, tugas yang
minggu lalu!” Sahut Pak Japar tegas,
“Saudari Qorin silahkan!” tambahnya.

Jantungku tiba-tiba bergemuruh.
Kena batunya itu anak. Sedangkan
yang disuruh ke depan, tampak lesu
wajahnya tak berekspresi. Perintah
yang tak mungkin bisa ditolak. Sang
Dosen matanya tajam mengarahkan
pandangan kepada seluruh
Mahasiswa. mentok pandangannya
berhenti menatap sahabatku.
Kukumpulkan kekuatan berusaha
tenang,
“Apakah anda tidur cukup semalam?”
Tanya Pak Japar kepada Qorin.
Ruangan pun gaduh dengan tawa.
Karena semua mata memandang
teman karibku yang terlihat masih
merem.

“Tidak Pak?” jawab Qorin singkat.
“Kapan anda berangkat kuliah?”
pertanyaan kedua, kami sedikit
tenang guna menangkap jawaban
teman satu Asrama-ku itu.
“Baru datang Pak.” Padat.
“Bagus, silahkan duduk kembali.” Pak
Dosen memandang ruangan kembali,
berwibawa. Hatiku yang tadi dak dig
dug sedikit tenang. Namun tinggal
menunggu reaksi sang Dosen. Qorin
harus siap menghadapi
kemarahannya. Namun yang
kuprediksikan ternyata tidak terjadi.
Selama jam belajar tak terjadi apa
pun. Dampaknya kami belajar sangat
serius tak seperti biasanya.
Dengan kejadian tadi, aku sedikit
menyimpulkan kenapa temanku tidak
dihukum. Karena jujur, jujur dengan
keadaan yang sebenarnya, jujur dia
sedang sakit, terutama kejiwaannya
bisa jadi. Dengan berani maju ke
depan itu sudah sebuah
penghargaan. Meskipun pasti kecewa
satu Mahasiswanya tidak belajar.
Mungkin menjadi intropeksi bagi
sang Guru bijak sekali pikirku.
Namun jika Qorin terus saja begitu,
tidak habis pikir. Kata maaf, sabar
masih berpihak padanya dari Pak
Dosen.
Sore-sore aku main ke kamar
sahabatku.

“Qorin kamu kok tadi tidur di kelas?”
protesku.
“Kan ngantuk.” Sanggahnya.
“Dulu Qorin temanku, paling
semangat belajar, maju ke depan
disuruh Pak Japar paling cerdas.
Hapalan Surah Qur’an sudah hampir
tiga juz padahal baru semester
pertama. sempat iri deh diriku,” lalu
aku menghela nafas sejenak
menyesalkan, “Orin apa yang
membuat lho, berubah? Sakitkah?”
aku berusaha memahami.
“Saya tidak sakit Riz, hanya aku
mencintai sesuatu.” Ujarnya serius.
“Hah, Love! Mencintai siapa? aku
siap membantu. Jangan kamu
pendam nanti menyesal seumur
hidup lho.” Aku semangat. Memang
anak jenius ini, pendiam padahal
sejatinya kaya burung Beo, tak
mudah diterka.
“Stop Riz, yang aku cintai sekarang
benda mati.” Sahutnya. Aku jadi
melongo heran, penasaran
menggunung.
“Benda, apaan? Facebook
maksudnya?” aku berusaha menerka.

“Ya, setiap waktuku siang, malam,
facebook wajib kubuka, kubaca,
kuingat, dan kucintai.” Matanya
berkaca-kaca, “seandainya Al-Quran
yang setiap hari aku baca, pahami,
ingat, kucintai. Riz?” tangisannya
meledak tak tertahan.
“Orin, ok!” Sahutku, “tapi otakmu
yang paling encer apa kau punya
cara?” aku balik tanya.
“Pertama ponsel mau kujual.

Selama aku belum hapal 30 juz Al-qur’an
atau lulus kuliah. Kedua laptop mau
kukembalikan ke rumah. Ketiga
ingatkan teman saat kusalah!”
Matanya menatapku teduh.
“Wow ide yang keren. Tapi kuatkah?”
aku meragukan.
“Bisa.” Tegasnya.
Sejak curhat malam itu, ponsel dan
laptop dia kembalikan ke rumah.
Kalau ada keperluan mendadak
cukup pinjam laptop atau ponselku
dan wajib bayar katanya sebagai
denda. Karena agar menjadi
pelajaran.
Masa kuliah tinggal dua tahun lagi.
Tapi Cita-cita Qorin menjadi
penghapal AL-Quran seumpama
hidayah yang tangguh.
Salah mencintai akibatnya benar-
benar patal. Namun mencintai dunia
tanpa sadar obatnya taubat, yang
efeknya ternyata lindah. Meskipun
hanya Allah yang memilih orang-
orang yang terpilih.
Senyuman yang tulus. Aku
memandang Qorin dengan toganya
yang masih menempel.
“Selamat, ya kawan Hafidzah 30 juz,
wow!” ucapku bangga.
“Sama-sama sobat. Ini berkatmu
juga!” tuturnya.

“Ok deh, thanks. Mana ponsel
barunya nih, saya bagi nomornya ya!”
senyum candaku.

Oleh : Evi Sunrise




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top